Kamis, 24 Mei 2012

5 Eksotisme Mistis Masyarakat Suku Batak

Setelah eksotisme magis masyarakat Suku Dayak, uniknya kini menyajikan keindahan budaya yang terdapat di Pulau Sumatera, sebuah komunitas suku bangsa yang dikenal dengan sebutan Suku Batak. Berdasarkan kepercayaan, nenek moyang mereka berasal dari seorang raja yang diturunkan di Gunung Pusuk Puhit. Gunung Pusuk Buhit adalah tempat dimana dahulu kala Raja Batak ada dan berdoa di tempat paling tinggi, diantara gunung yang menggelilingi Pulau Samosir. Menurut mitos yang sudah turun temurun dipercaya bahwa tempat tertinggi inilah mula suku Batak. Berikut secara ringkas uniknya.com menyajikan eksotisme budi dan karsa masarakat Suku Batak:

1. Hadatuon

Masyarakat Suku Batak zaman dahulu dikenal menganut kepercayaan animisme dan dinamis, kepercayaan tersebut hingga kini masih tersisa dikenal dengan sebutan agama parmalim, malim, dan mewariskan hadatuon.
Hadatuon merupakan merupakan ilmu supranatural sekaligus natural yang dapat diajarkan dan dipelajari oleh orang-orang tertentu (khususnya yang diberi anugerah istimewa), sahala hadatuon. Proses penyampaian “ilmu”nya selalu bersifat isoteris, artinya dilakukan di luar lingkungan masyarakat serta bersifat tertutup di antara seorang ‘guru’ (datu) dan seorang ‘murid’. Datu hanyalah seorang guru bagi seorang murid, artinya ia tidak memiliki kewajiban untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Datu dalam hal itu tidak berfungsi sebagai guru masyarakat seperti guru-guru lainnya. Sebagaimana diketahui secara umum ada beberapa fungsi datu di tengah-tengah masyarakatnya, seperti pengobatan dan penyembuhan penyakit, sebagai imam dalam ritus keagamaan Batak, sebagai medium dalam memanggil serta berhubungan dengan roh-roh nenek moyang tertentu dan sebagai peramal atau dukun tenung. Dengan demikian “ilmu” yang harus dikuasai oleh seorang datu adalah sangat luas dan keseluruhannya bersifat khusus. Proses penurun-alihan “ilmu” itu sendiri sudah merupakan rangkaian ritus yang unik dan dalam satu proses belajar mengajar hanya ada satu guru dan satu murid.

“Ilmu hadatuon” bersumber pada ‘Pustaha Agong’, sebuah buku laklak (kulit kayu) yang berisikan secara lengkap ilmu hadatuon. Berdasarkan keterangan mitologis, buku tersebut diwariskan oleh si Raja Batak kepada anaknya Guru Tatea Bulan yang menjadi datu, guru pertama, mengajarkan ilmu hadatuon itu kepada anak-anaknya.

Menurut J Winkler, seperti dikutip oleh Aritonang, pada pokoknya ada tiga katagori isi pustaha berdasarkan maksud penggunaannya, pertama satu, ‘ilmu’ untuk memelihara kehidupan (protective magic) yang mencakupi diagnosa, terapi, ramuan obat-obatan yang bersifat magis, ajimat, parmanisan (pekasih) dan sebagainya.

Kedua, ‘ilmu’ untuk membinasakan kehidupan (destructive magic) yang mencakupi seni membuat racun, seni mengendalikan atau memanfaatkan kekuatan roh tertentu memanggil pangulubalang dan seni membuat dorma (guna-guna pemikat cinta).
Ketiga, ‘ilmu’ meramal (divination) yang mencakup orakel (sabda dewata) yang menjelaskan kemauan roh yang dipanggil, perintah para ilah dan leluhur, sistem almanak atau kalender (parhalaan) dan perbintangan (astrologi) untuk menentukan hari baik bulan baik untuk menyelenggarakan suatu hajatan, pekerjaan berat atau perjalanan jauh.

Semua itu dikembangkan sedemikian rupa dalam upacaraupacara magis dalam usaha berkomunikasi dengan kekuatankekuatan supranatural; roh leluhur, roh penghuni-penghuni alam (pangingani) serta roh-roh jahat.
2. Pinggan Pasu

Pinggan Pasu adalah sebuah piring besar yang terbuat dari keramik, berasal dari China abad ke 17 Jaman Dinasti Ching. Namun Untuk Sumatra Utara, keramik Cina yang lebih tua ditemukan di kota Cina, Labuhan Deli, Medan. “Diperkirakan dari XI sampai XIII, jaman dinasti Sung dan Yuan. Produksi keramik Cina sempat berhenti di abad XIV. Ketika pembangunan jalan tol Belawan-Tanjung Morawa, ditemukan banyak pecahan keramik Cina di Labuhan Deli yang merupakan kota Cina,”jelas Sri Hartini (Kepala Museum Negeri Sumatra Utara)
Pinggan pasu merupakan sebuah benda pusaka “halak Batak” orang Batak. Benda kuno ini digunakan oleh para raja-raja Batak zaman dahulu untuk melakukan kegiatan atau ritual di tanah Batak. Dan sebahagian masyarakat mempercayai bahwa dalam piring kuno ini memiliki kekuatan magis dan sangat aneh sekali ditemukan dengan piring atau barang pecah belah lainnya. Pinggan pasu ini juga dapat digunakan untuk pengobatan alternatif. Berdasarkan sebuah mitos yang berlaku, pinggan pasu yang asli memiliki tiga keunikan. Bisa menawarkan racun, membuat tawar air asin dan membuat makanan tidak basi.

3. Sigale-gale
Sigale-gale merupakan boneka kayu menyerupai figur manusia, baik mulai dari tubuh hingga pakaian yang dikenakan. Boneka ini dimainkan layaknya wayang (kesenian di P.Jawa), memiliki tali dan digerakkan oleh manusia. Ciri khas gerakannya menyerupai tarian khas batak, yakni tari tor-tor. Sigale-gale biasa dimainkan dalam sebuah upacara adat dengan iringan musik gondang sabangunan.

Sigale-gale merupakan salah satu warisan nenek moyang Suku Batak, jauh sebelum mayoritas masyarakat Suku Batak menganut agama Kristen. Ketika itu masyarakat Suku Batak menganut sebuah keyakinan animisme dan dinamisme, yang mereka sebut dengan Parmalim. Namun bagi masyarakat suku lain di Indonesia sedikit sekali yang mengetahui kisah yang tragis di balik legenda Sigale-gale.

Dikisahkan ada sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarganya menyandang sebagai Raja “Raja Rahat”, dan Raja ini hanya mempunyai satu anak laki-laki. Suatu hari anak laki-laki Raja terkena penyakit aneh dan tidak ada tabib atau pun dukun yang bisa menyembuhkan-nya, lalu akhirnya anak laki-laki Raja ini meninggal dunia.Untuk mengenang anak laki-lakinya, Raja menyuruh para tukang ukir untuk membuatkan sebuah patung yang menyerupai anaknya laki-laki, tukang ukir yang membuat patung anak raja bernama “Rahat Bulu Datu Manggeleng”, dan patung itu dibuat dalam waktu tiga hari saja. Si pengukir kayu ini membuat Sigale-gale pertama dari sebuah pohon besar hutan yang tidak bercabang dan berdaun, lalu sang pengukir ini mengukir kayu pohon ini hingga berbentuk menyerupai manusia, kemudian dipakaikanlah perhiasan-perhiasan.

Rasa sedih sang Raja agak terobati setelah melihat hasil karya si pengukir kayu ini, karena dianggapnya patung itu mirip dengan anaknya yang sudah meninggal dan patung itu diberi nama Sigale-gale. Satu hal yang menarik adalah pemakaian Sigale-gale dengan Kain ulos, sebuah kain yang sering di gunakan oleh masyarakat Batak untuk upacara-upacara adat atau menghadiri pertemuan-pertemuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar