Setelah
eksotisme magis masyarakat Suku Dayak, uniknya kini menyajikan
keindahan budaya yang terdapat di Pulau Sumatera, sebuah komunitas suku
bangsa yang dikenal dengan sebutan Suku Batak. Berdasarkan kepercayaan,
nenek moyang mereka berasal dari seorang raja yang diturunkan di Gunung
Pusuk Puhit. Gunung Pusuk Buhit adalah tempat dimana dahulu kala Raja
Batak ada dan berdoa di tempat paling tinggi, diantara gunung yang
menggelilingi Pulau Samosir. Menurut mitos yang sudah turun temurun
dipercaya bahwa tempat tertinggi inilah mula suku Batak. Berikut secara
ringkas uniknya.com menyajikan eksotisme budi dan karsa masarakat Suku
Batak:
1. Hadatuon
Masyarakat Suku Batak zaman dahulu dikenal menganut kepercayaan animisme dan dinamis, kepercayaan tersebut hingga kini masih tersisa dikenal dengan sebutan agama parmalim, malim, dan mewariskan hadatuon.
Hadatuon merupakan merupakan ilmu supranatural sekaligus natural yang
dapat diajarkan dan dipelajari oleh orang-orang tertentu (khususnya yang
diberi anugerah istimewa), sahala hadatuon. Proses penyampaian
“ilmu”nya selalu bersifat isoteris, artinya dilakukan di luar lingkungan
masyarakat serta bersifat tertutup di antara seorang ‘guru’ (datu) dan
seorang ‘murid’. Datu hanyalah seorang guru bagi seorang murid, artinya
ia tidak memiliki kewajiban untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain.
Datu dalam hal itu tidak berfungsi sebagai guru masyarakat seperti
guru-guru lainnya. Sebagaimana diketahui secara umum ada beberapa fungsi
datu di tengah-tengah masyarakatnya, seperti pengobatan dan penyembuhan
penyakit, sebagai imam dalam ritus keagamaan Batak, sebagai medium
dalam memanggil serta berhubungan dengan roh-roh nenek moyang tertentu
dan sebagai peramal atau dukun tenung. Dengan demikian “ilmu” yang harus
dikuasai oleh seorang datu adalah sangat luas dan keseluruhannya
bersifat khusus. Proses penurun-alihan “ilmu” itu sendiri sudah
merupakan rangkaian ritus yang unik dan dalam satu proses belajar
mengajar hanya ada satu guru dan satu murid.
“Ilmu hadatuon” bersumber
pada ‘Pustaha Agong’, sebuah buku laklak (kulit kayu) yang berisikan
secara lengkap ilmu hadatuon. Berdasarkan keterangan mitologis, buku
tersebut diwariskan oleh si Raja Batak kepada anaknya Guru Tatea Bulan
yang menjadi datu, guru pertama, mengajarkan ilmu hadatuon itu kepada
anak-anaknya.
Menurut J Winkler, seperti dikutip oleh Aritonang, pada pokoknya ada tiga katagori isi pustaha berdasarkan maksud penggunaannya, pertama satu, ‘ilmu’ untuk memelihara kehidupan (protective magic) yang mencakupi diagnosa, terapi, ramuan obat-obatan yang bersifat magis, ajimat, parmanisan (pekasih) dan sebagainya. Kedua, ‘ilmu’ untuk membinasakan kehidupan (destructive magic) yang mencakupi seni membuat racun, seni mengendalikan atau memanfaatkan kekuatan roh tertentu memanggil pangulubalang dan seni membuat dorma (guna-guna pemikat cinta). Ketiga, ‘ilmu’ meramal (divination) yang mencakup orakel (sabda dewata) yang menjelaskan kemauan roh yang dipanggil, perintah para ilah dan leluhur, sistem almanak atau kalender (parhalaan) dan perbintangan (astrologi) untuk menentukan hari baik bulan baik untuk menyelenggarakan suatu hajatan, pekerjaan berat atau perjalanan jauh. Semua itu dikembangkan sedemikian rupa dalam upacaraupacara magis dalam usaha berkomunikasi dengan kekuatankekuatan supranatural; roh leluhur, roh penghuni-penghuni alam (pangingani) serta roh-roh jahat. |
2. Pinggan Pasu
Pinggan Pasu adalah sebuah piring
besar yang terbuat dari keramik, berasal dari China abad ke 17 Jaman
Dinasti Ching. Namun Untuk Sumatra Utara, keramik Cina yang lebih tua
ditemukan di kota Cina, Labuhan Deli, Medan. “Diperkirakan dari XI
sampai XIII, jaman dinasti Sung dan Yuan. Produksi keramik Cina sempat
berhenti di abad XIV. Ketika pembangunan jalan tol Belawan-Tanjung
Morawa, ditemukan banyak pecahan keramik Cina di Labuhan Deli yang
merupakan kota Cina,”jelas Sri Hartini (Kepala Museum Negeri Sumatra
Utara)
Pinggan pasu merupakan sebuah benda pusaka “halak Batak” orang Batak.
Benda kuno ini digunakan oleh para raja-raja Batak zaman dahulu untuk
melakukan kegiatan atau ritual di tanah Batak. Dan sebahagian masyarakat
mempercayai bahwa dalam piring kuno ini memiliki kekuatan magis dan
sangat aneh sekali ditemukan dengan piring atau barang pecah belah
lainnya. Pinggan pasu ini juga dapat digunakan untuk pengobatan
alternatif. Berdasarkan sebuah mitos yang berlaku, pinggan pasu yang
asli memiliki tiga keunikan. Bisa menawarkan racun, membuat tawar air
asin dan membuat makanan tidak basi.
|
3. Sigale-gale
Sigale-gale
merupakan boneka kayu menyerupai figur manusia, baik mulai dari tubuh
hingga pakaian yang dikenakan. Boneka ini dimainkan layaknya wayang
(kesenian di P.Jawa), memiliki tali dan digerakkan oleh manusia. Ciri
khas gerakannya menyerupai tarian khas batak, yakni tari tor-tor.
Sigale-gale biasa dimainkan dalam sebuah upacara adat dengan iringan
musik gondang sabangunan.Sigale-gale merupakan salah satu warisan nenek moyang Suku Batak, jauh sebelum mayoritas masyarakat Suku Batak menganut agama Kristen. Ketika itu masyarakat Suku Batak menganut sebuah keyakinan animisme dan dinamisme, yang mereka sebut dengan Parmalim. Namun bagi masyarakat suku lain di Indonesia sedikit sekali yang mengetahui kisah yang tragis di balik legenda Sigale-gale.
Dikisahkan
ada sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarganya menyandang
sebagai Raja “Raja Rahat”, dan Raja ini hanya mempunyai satu anak
laki-laki. Suatu hari anak laki-laki Raja terkena penyakit aneh dan
tidak ada tabib atau pun dukun yang bisa menyembuhkan-nya, lalu akhirnya
anak laki-laki Raja ini meninggal dunia.Untuk mengenang anak
laki-lakinya, Raja menyuruh para tukang ukir untuk membuatkan sebuah
patung yang menyerupai anaknya laki-laki, tukang ukir yang membuat
patung anak raja bernama “Rahat Bulu Datu Manggeleng”, dan patung itu
dibuat dalam waktu tiga hari saja. Si pengukir kayu ini membuat
Sigale-gale pertama dari sebuah pohon besar hutan yang tidak bercabang
dan berdaun, lalu sang pengukir ini mengukir kayu pohon ini hingga
berbentuk menyerupai manusia, kemudian dipakaikanlah
perhiasan-perhiasan.
Rasa sedih sang Raja agak terobati setelah melihat hasil karya si pengukir kayu ini, karena dianggapnya patung itu mirip dengan anaknya yang sudah meninggal dan patung itu diberi nama Sigale-gale. Satu hal yang menarik adalah pemakaian Sigale-gale dengan Kain ulos, sebuah kain yang sering di gunakan oleh masyarakat Batak untuk upacara-upacara adat atau menghadiri pertemuan-pertemuan.
Rasa sedih sang Raja agak terobati setelah melihat hasil karya si pengukir kayu ini, karena dianggapnya patung itu mirip dengan anaknya yang sudah meninggal dan patung itu diberi nama Sigale-gale. Satu hal yang menarik adalah pemakaian Sigale-gale dengan Kain ulos, sebuah kain yang sering di gunakan oleh masyarakat Batak untuk upacara-upacara adat atau menghadiri pertemuan-pertemuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar